Sebagai seorang IRT yang memiliki anak Batita, pastiii deh gak lepas keseharian dengan yang namanya terigu. Untuk mengolah makanan pokok, untuk bikin cemilan dll. Padahal terigu ini mengandung gluten loooh, yang susah dicerna oleh tubuh kita. Paling banter 3x24 jam baru deh lolos. Naaaah, makanya terkadang saya punya jadwal untuk bikin cake atau sekedar cemilan yang berbahan terigu untuk Sarah dan keluarga di rumah. Sampai sampai saya punya jadwal khusus untuk bikin cake untuk Sarah di rumah loh. Cake untuk sebulan sekali saja, sisanya Sarah makan kukus-kukusan. Pisang kukus, telo ( singkong) kukus, ubi, dll. Saya juga tidak begitu suka dengan dairy product macam keju dan susu, itu juga udah di warning sama suami saya siiiih. okeee komandan siyaaap!! ^^
Alhamdulillah semenjak saya bergabung dengan grup emak-emak di HHBF dan grup Wied harry saya jadi semakin terbuka dengan acara mengolah cemilan untuk anak-anak. Mau makan enak tapi jangan lupakan embel-embel sehat dan alami nya ituuu loooh. Jadi kenal GFF mix, tepung Mocaf, EVOO, ELOO, dan ingredients lain dalam memasak makanan yang sehat nan alami.
Berikut sedikit saya copykan ulasan singkat dari Pak Wied, Semoga semakin banyak Ibu-Ibu yang tercerahkan dan mementingkan makanan untuk anak dan keluarga di rumah.
MENGAPA PERLU
MEMBATASI KONSUMSI TERIGU?
1.
Tepung terigu mengandung gluten, jenis
protein khusus dalam biji-biji gandum –bahan asal terigu– yang sulit dicerna. Kesimpulan
hasil riset menyebutkan tubuh kita memerlukan waktu 3 kali siklus metabolisme,
yakni 3x24 jam, untuk bisa mencerna dan membuang gluten ke luar tubuh.
2.
Nyaris seluruh bahan utama tepung terigu,
yakni gandum, masih diimpor. Meskipun ada penelitian yang menyebutkan gandum
sudah dapat ditanam di Indonesia
dan dapat tumbuh dengan baik, produksinya masih sangat-sangat kecil dibanding
konsumsi nasional. Sehingga sebagian besar konsumsi terigu nasional harus diimpor.
Setiap tahun negara kita menghabiskan dana triliunan rupiah untuk membeli gandum.
3.
Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
terigu akan menyusutkan ketahanan pangan nasional. Kita mengabaikan potensi
tepung-tepung lokal, seperti tepung sukun, tepung ganyong, tepung sagu, tepung
kanji, tepung singkong. Ketergantungan terhadap pangan impor melemahkan posisi
kita terhadap negara lain. Permintaan dunia yang tinggi terhadap gandum, tidak
tertutup kemungkinan akan melonjakkan harga gandum. Jika harga impor gandum
naik, maka harga jual produk-produk dari tepung terigu, seperti mi instan, akan
melonjak pula. Nah, padahal selama ini ketergantungan penduduk Indonesia
terhadap tepung terigu amat-sangat besar. Bisa dikatakan adonan yang dulu
terbuat dari tepung lokal, kini sudah tergantikan oleh tepung terigu. Kalau
dulu menggoreng tempe
atau pisang menggunakan tepung singkong atau tepung beras, sekarang tepung
terigu. Kalau dulu penduduk Indonesia
hanya sesekali makan roti, sekarang sudah begitu banyak penduduk rajin makan
mi, roti, pizza, pasta, dll. Karena itu, perubahan harga terigu akan sangat
mempengaruhi kondisi sosial kita.
TERIGU OH TERIGU
.:InfoSehatAlami:.
[TERIGU OH TERIGU] Menteri Pertanian kita, Bapak Ir. H. Suswono, MMA,
“menjerit” karena penggunaan tepung terigu dan hasil olahannya (roti, mi,
spageti dan jenis-jenis pasta lain, cake, dll) terus meningkat pesat. Padahal,
terigu dan gandum (bahan baku terigu) masih harus diimpor. Akibatnya, devisa
negara banyak terkuras untuk memuaskan nafsu para penyuka makanan dari terigu,
termasuk para pakar kuliner yang terus giat menggelorakan penggunaan terigu.
Jika kita tak mau tahu dengan jeritan kepusingan impor terigu/gandum dan
pemborosan devisa, mungkin sudah saatnya kita mendengarkan JERITAN TUBUH KITA
SENDIRI – jika sering makan roti, cake, kue-kue, mi, pasta, dan makanan lain
terbuat dari bahan utama terigu.
“… Dalam daftar
sensitivitas makanan, tepung terigu maupun gandum (bahan baku terigu) berada di
urutan teratas. Selain roti, mi, pasta yang berbahan utama terigu;
terigu/gandum ditemukan di mana-mana dengan beragam nama: semolina (sebagian
besar pasta), durum, couscous, sari gandum, bekatul gandum, graham flour,
farina. Gandum/terigu juga tersembunyi di banyak makanan olahan, saus, permen,
daging olahan kemasan siap makan, sup krim kemasan. Jika Anda sensitif atau
alergi terhadap gandum, ada kemungkinan Anda juga reaktif terhadap havermut
(oat).
Semua bahan
makanan tersebut mengandung zat reaktif yang disebut gluten. Gluten adalah
suatu protein, zat mirip lem yang menyatukan bulir-bulir gandum dan padi-padian
tertentu. (Gluten juga melekat di dinding usus seperti lem.) Sensitivitas
gluten dapat muncul sebagai gejala ringan seperti kembung, rasa tidak enak di
perut, dan pilek, hingga gejala berat seperti sindrom iritasi usus, sakit
kepala, migrain, nyeri sendi dan otot, asma, eksem, dan gangguan suasana hati. Mungkin
juga timbul gangguan pencernaan yang serius, antara lain penyakit celiac sprue.
Pada celiac, vilus (jonjot) usus halus rusak, sehingga mengakibatkan gangguan
penyerapan nutrisi yang parah. Hal ini kemudian menyebabkan melemahnya sistem
kekebalan tubuh, penurunan berat badan, diare, lesu kronis. [Wied Harry:
Beberapa gangguan kesehatan akibat gangguan sistem metabolisme, seperti lupus,
autisme, ADHD, juga diduga akibat asupan tinggi gluten.]
Sensitivitas
gluten tampaknya semakin banyak dijumpai , karena semakin banyak orang yang
“tercemari” oleh bahan makanan dan makanan olahan dari terigu yang telah
diubah, dimurnikan, dan direduksi secara kimiawi. Bahkan, pada orang tertentu,
terasup gluten sedikit saja sudah menimbulkan reaksi.
Alergi gluten
memang dapat dideteksi melalui tes alergi, namun sensitivitas terhadap gluten
sulit dideteksi dengan pemeriksaan biasa. Walaupun dokter dapat melakukan uji
antibodi alergi atau biopsi usus, cara paling mudah dan paling tidak invasif
adalah menyingkirkan semua makanan dan produk makanan terbuat dari bahan utama
terigu/gandum maupun yang menggunakan campuran terigu/gandum. Menggantinya
dengan bahan tepung tanpa gluten, seperti tepung beras, tepung jagung, tepung
kedelai, dll.”
Sumber: Buku
GUT WISDOM oleh Alice M. Sorokie, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul PENCERNAAN SEBAGAI KUNCI HIDUP SEHAT, penerbit Bhuana Ilmu Populer
- Jakarta.
ULASAN WIED
HARRY:
1. Kebiasaan makan makanan terbuat dari terigu
memberatkan fungsi cerna. Untuk “menangani” gluten, kandungan protein utama
dalam terigu yang sulit dicerna, tubuh kita memerlukan waktu 3 kali siklus
metabolisme (3x24 jam), bisa lebih lama – tergantung berapa banyak dan berapa
rajin kita makan makanan terbuat dari terigu. Artinya, gluten dari roti, cake,
kue kering, mi, spageti atau jenis pasta lain, yang kita makan pada hari ini,
baru dapat terbuang setelah selang 3 hari ke depan. Apa yang terjadi jika kita
setiap hari rajin menghabiskan makanan terbuat dari terigu?
2. Sebisanya singkirkan tepung terigu dalam
pembuatan makanan yang bisa sepenuhnya tidak menggunakan terigu. Misalnya,
gunakan tepung beras atau pun tepung lokal lainnya untuk makanan gorengan
(adonan pelapis pisang/ubi/tempe goreng, rempeyek, dll). Agar adonan tepung
beras menjadi lebih rapuh dan renyah setelah digoreng, tambahkan “bahan
pelembut” alami ke dalam adonan, a.l. santan, kuning telur. Jika enggan
menggunakan santan dan kuning telur, campurkan tepung maizena, tepung
sagu/kanji, atau tepung singkong. [Saya selalu menyimpan stok tepung singkong
bikinan sendiri. Cara bikinnya gampang: singkong diparut, dijemur kering,
haluskan dengan blender/grinder/food processor, ayak. Simpan dalam wadah
tertutup rapat. Pisang goreng dengan lapisan adonan tepung singkong sangat
enak!]
3. Untuk penyuka makanan berbahan utama terigu
(mi, pasta, roti, bakpau, donat, cake, dll): Jika masih belum bisa berpisah
dari terigu, ganti sebagian terigu dengan bahan non-terigu. Dari uji dapur yang
saya lakukan, menggunakan bahan non-terigu hingga 60% masih menghasilkan
makanan seenak yang 100% terbuat dari terigu. Campuran pengganti terigu bisa
menggunakan tepung non-terigu, seperti tepung beras putih/merah/hitam, tepung
ketan putih/hitam (sebagian reference menyebutkan tepung ketan masih mengandung
gluten, tapi dalam jumlah terbatas), tepung kentang, tepung singkong, tepung
jagung, tepung kacang merah/kacang tolo/kacang hijau/kedelai. Untuk campuran
non-tepung, gunakan kentang kukus lumat, ubi jalar kukus lumat, singkong kukus
lumat, jagung muda lumat (dikukus dulu maupun tanpa dikukus – keduanya
memberikan efek citarasa khas berbeda). [Tepung jagung & tepung kacang saya
buat sendiri. Caranya: Cuci butir jagung atau kacang merah/kacang tolo/kacang
hijau/kedelai, tiriskan. Jemur sampai kering atau sangrai sebentar di atas api
kecil hingga kering. Haluskan dengan blender/grinder/food processor, ayak.
Simpan dalam wadah tertutup rapat.)
4. Beranikan diri dan gali kreativitas untuk
membuat makanan dari bahan utama terigu
dengan tepung non-terigu. Tentu saja untuk ini diperlukan spirit hidup
sehat-alami yang tinggi, karena kita akan makan makanan dengan tekstur dan
citarasa berbeda dari yang sudah terekam dalam otak kita. Contoh: roti dari
tepung jagung (bukan tepung maizena ya), mi dan pasta tepung beras/tepung
jagung, cake tepung ketan, lapis legit tepung singkong, kue kering tepung
sagu/kanji. Selain itu, daripada asyik
dengan cake-kue Barat bahan utama tepung terigu, sekarang saatnya menikmati
kue-kue tradisional tanpa terigu, seperti kue lapis, kue talam, kue ku, kue
bugis, dll.
5. Saatnya untuk mandiri! Mengambil keputusan
bagi kesehatan diri sendiri. Sudah siapkah kita jika industri terigu, industri
produk makanan berbahan utama terigu, maupun pakar kuliner terus mendesak dan
mendikte kita agar lebih banyak makan makanan dari terigu dan/atau mengolah
terigu? Semuanya terpulang kepada kita masing-masing.
Semoga gak capek yaaa bacanya. Looh ini kan ilmu yang bermanfaat, jadi belajar itu kudu terus dan terus. gak ada kata berhenti untuk belajar.
Ni saya kasih bocoran sedikit yaaa, untuk penggunaan cake kita bisa mengganti funsi terigu dengan perbandingan tepung beras : tepung kanji/ sagu : maizena = 7 :2:1. Sedangkan untuk cookies bisa juga dengan memakai tepung sagu/ kanji saja atau bisa juga dengan GFF mix dengan perbandingan tep. beras : tep. sagu : tep. kanji = 6 :2:1. Kalo mau goreng2 makanan di rumah misalnya tempe/ tahu pake tep. mocaf dan GFF ( Gluten Free Flour) mix juga enak looh. Cuma saya belum pernah nyoba mocaf siih, karena belum dapet euy. Mocaf singkatan dari Modified Cassava Flour.
Jadi bener kata Pak Wied, Siapkah kita untuk tidak terus-terusan bergantung pada terigu. Just be a Smart Mom for u're family. Give the best from the best. ^^v
***
Balikpapan, 11 Agustus 2012
Wuah ide yg bagus.nanti saya coba
BalasHapusTrimakasih bun apresiasinya. Salam kenal dari saya di Balikpapan. ^^
HapusUntuk bisa gabung di gruf wied harry atau HHBF gimana ya
BalasHapusTidak usah terlalu dibesar2kan yah bu.... Org Eropa yg rajin mkn roti jauh lebih sempurna kondisi tubuhnya dibanding kita.... Indonesia tuh badan nya bantet.... Dan setahu saya, jauh lebih murah harga tepung terigu dibanding produk lokal seperti beras dan sagu.... Justru harga tepung lomal lah yg menguras kocek ibu rumah tangga.... Semuanya hanya perlu disesuaikan saja.... jgn extreem... ya kalo goreng paketerigu lah. Kalo bikin bakso tepung sagu.... bikin kerupuk boleh tepung terigu campur sagu... Makan sayur dan buah yg banyak juga minum air putih banyak.... Trus mkn ikan atau daging merah alias yg rendah lemak.... niscaya kita tidak membuat anak sakit , juga tidak menahannya dari kesempatan mengunyah dan mengecap mkanan yg gurih2.... Yg harus dihindari itu adalah bahan makanan dengan penggunaan penyedap buatan dan pengawet... Ibu2 kan sering tuh masak sayur, tapi pake royko sebungkus... beuh... sama aj racun tuh.... hehehe... Yah untuk kondisi muda, pencernaan tidak perlu banyak berpantang.... Seimbangkan saja... yg penting usahakan alami... tidak campur bahan2 kimiawi buatan berbahaya... kalu mau sedap yah bumbu musti banyak dan sesuai takaran, gunakan bahan yg fres, campurkan udang dikit, kaldu ayam alami alias air rebusan ayam, suiran ikan sedikit, dan bla bla bla.... sorry bu sy comment kyk gini krn g mau ibu2 yg lain menjadi terlalu takut alias lebay....
BalasHapus